Kamis, 19 Mei 2011

RAGAM BATIK INDONESIA



              Keberaadaan seni batik di Indonesia sejatinya telah tumbuh sudah cukup lama, ini dibuktikan dengan di ketemukannya motif-motif batik pada relief candi — candi yang tersebar di tanah Jawa. Kata Batik sendiri berasal dari kata asli Indonesia. Dalam babad sengkala tahun 1633 serta dalam Pandji Djaja Lengkara tahun 1770 kata-kata batik dan membatik sudah ada. Dari segi bahasa kata batik berasal dari Jawa dari akar kata tik yang berarti kecil. Yang kemudian muncul kata ambatik atau anyerat yang diartikan menulis atau mengambar secara rumit serba kecil (titik-titik) diatas sebuah kain. Untuk melakukannya di gunakan alat canting dan lilin (malam) yang dipanaskan sebagai  perintang warna.
 Seni batik dalam sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit hingga kerajaan Mataram sejalan dengan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Semua batik yang dihasilkan merupakan batik tulis (tradisional) Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram Yogyakarta dan Solo.
Batik adalah sebuah kesenian gambar di atas, kain untuk pakaian untuk piranti busana yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan terbatas didalam lingkungan keraton saja dan hasilnya hanya untuk pakaian raja, kerabat serta para pengikutnya. Banyaknya para pengikut raja yang tinggal diluar lingkungan keraton sehingga kesenian batik ikut terbawa keluar tembok kerajaan dan akhirnya merekapun ikut mengerjakan membuat kain batik di tempat tinggalnya.
Pembuatan batik berkembang ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya sebagai pakaian keluarga dan kerabat kraton, kemudian menyebar keluar menjadi pakaian yang sangat digemari rakyat, baik oleh kaum perempuan maupun para pria.
Bahan batik yang dipergunakan waktu itu sangat sederhana, berupa kain putih hasil tenunan tangan dengan menggunakan alat tenun manual buatan sendiri. Sedangkan bahan pewarna menggunakan warna dari tumbuh-tumbuhan, seperti buah mengkudu, soga, nila. Adapun bahan sodanya dari abu dan sebagai pengikat warna menggunakan garam yang dibuat dari tanah lumpur. Berkembangnya kesenian batik di Jawa ibenjadikan kain batik dikenal secara meluas dan menjadi ikon rakyat nusantara.

Rabu, 11 Mei 2011

BATIK HOKOKAI



                      Memasuki pasca perang dunia pertama membawa imbas pengaruh yang sangat kuat bagi perekonomian dunia, akibat pada tahun 1930 terjadi krisis ekonomi dunia. Dampaknya sangat terasa di mana-mana termasuk sampai pada perusahaan batik di Pekalongan. Tidak sedikit mereka yang gulung tikar. Sebangian banyak mengalihkan usahanya dengan membuat tenun, seperti di wilayah Pekajangan dan sekitarnya. Saat itu juga mengakibatkan putusnya aliran jalur perdagangan mori dan obat batik sebagai penopang utama bahan baku pembuatan batik, jikalaupun ada harganya sangat mahal. Masa pendudukan Jepang Tahun 1942-1945 membuat para perajin batik terhimpit mengalami kesulitan. Hampir semua masyarakat khususnya di Pulau Jawa menderita kesulitan ekonomi, banyak Masyarakat yang kelaparan pada masa penjajahan Dai Nipon Jepang.
Salah seorang tokoh Pekalongan Kromolawi pada masa itu dingkat oleh Jepang sebagai kepala Pelopor. Melalui organisasi Hokokai para pengusaha batik di Pekalongan digerakkan membuat batik gaya Jepang. Diantara pengusaha yang mendapatkan order itu adalah H. Djajuli yang diteruskan kepada pengusaha lainnya. Meski memperoleh pesanan namun kondisi akiibat penjajahan Jepang para perajin cukup banyak Ling mengalami kesulitan. Maka untuk mensiasati Pembuatan batik dengan cara membuat batik yang dikerjakan menggunakan corak lebih rumit, praktis ini memerlukan waktu yang cukup lama. Siasat cara ini dilakukan untuk memperpanjang arus perdagangan yang terputus akibat kelangkaan berbagai bahan baku batik. Sementara corak dimaksimalkan dengan menerapkan motif-motif flora maupun fauna, seperti kupu-kupu dan bunga anggrek. Batik desain ini di kenal dengan isitilah Batik Hokokai (Perhimpunan Rakyat Djawa ) Salah satu ciri batik ini dibuat dengan sistem pagi sore. Langkah ini dilakukan untuk menghemat kain yang saat itu mengalami keterbatasan. Sehingga selembar kain batik bisa digunakan dua kali oleh pemiliknya, karena dua sisinya berbeda warna dan corak. Sehingga bisa dikenakan pemakainya untuk busana pagi dan sore. Adapun proses lamanya waktu penggarapan dimaksudkan agar para pekerja tetap bisa memperoleh jatah makan, mengingat masa pendudukan Jepang cukup banyak masyarakat yang menderita kelaparan. Hubungan Jepang- Indonesa pada masa pendudukan dimanfaatkat oleh para perajin dengan memberikan design batik untuk kimono sebagai pakaian khas Jepang. Batik jenis ini hanya dibuat di Pekalongan. Rentang waktu yang sama keberadaan Batik Hokokai kemudian disusul munculnya Batik Becak. Ciri batik ini hanya mengunakan warna kelengan karena pewarna indigosol sangat langka. Disisi lain kain yang digunakan tidak standar dan kain itu diperoleh dari hasil rampasan milik bala tentara Jepang yang dianggkut menggunakan becak. Meski pendudukan penjajah Jepang telah meninggalkan tanah air, namun batik Hokokai tetap di produksi, namun namanya diganti menjadi Batik Djawa Baroe, Ini sehubungan adanya situasi pemerintahan yang baru pasca pendudukan Jepang.

Pemerintah beserta segenap rakyat yang berhasil melakukan perjuangan merebut kemerdekaan ikut mempengaruhi semangat perkembangan batik di Pekalongan, simpul perdagangan yang semula tersumbat kembali mulai menunjukan kelancaran. Presiden pertama RI Ir Soekarno bahkan menaruh perhatian terhadap batik yang kembali mengalami gairah kebangkitan. Melihat berbagai corak asal batik yang berkembang pasca kemerdekaan, Presiden mempunyai gagasan membuat batik Indonesia sebagai spirit persatuan Bhineka Tunggal Ika dengan cara memadukan motif corak keraton dan pesisir. Ide yang dilontarkan presiden langsung disambut masyarakat Pekalongan sehingga muncul batik-batik campuran kedua ragam corak peisisr dan keraton. Pasang surut politik yang ada di tanah air saat itu sama sekali tidak berpangaruh besar terhadap perkembangan batik Pekalongan. Industri batik terus herkembang sangat pesat hingga dekade tahun 1970. Gubenur DKI Ali Sadikin yang gencar memelopori batik dijadikan sebagai pakain resmi identitas bangsa, membuat gairah baru perajin batik di Pekalongan. Masa itu muncul berbagai jenis batik. Diantaranya Batik Formika, Batik Radioan, jumputan (Bu Harto), Batik abstrak/kontemporer dan Batik Lukis, Batik Usdek.
Produksi batik Pekalongan terus menyebar keberbagai penjuru tanah air mereka yang membuat batik jenis ini diantaranya seperti HM Gasym dan tokoh batik lainnya. Tahun 1980 inovasi batik Pekalongan berkembang, meski sempat terguncang munculnya mesin printing. Namun para perajin tidak terpaku menyerah begitu saja. Mereka tidak menggunakan bahan mori katun, tetapi mulai merambah ke bahan baku sutera asal Cina sepei dirintis oleh H Susilo asal Wiradesa. Sedangkan Jakarta dipelopori serta dikembangkan oleh lwan Tirta sekaligus dijadikan rancangan busana yang memikat Hal ini juga dilakukan perancang Harry Darsono.
Batik sutera tercatat sebagai temuan baru asal Pekalongan, karena belum ada satu daerah saat itu yang bisa menerapkan batik menggunakan malam perintang wama di atas kain sutera. Batik sutera Pekalongan sebagai temuan mempunyai berbagai keunggulan design serta coraknya yang mampu menunjukan gradasi wama indah. Tidak mengherankan jika permintaan pasar akan batik sutera terus meningkat. Bahkan batik sutera asal Pekalongan berhasil menembus kalangan istana Kepresidenan. Presiden Suharto dan keluarganya selalu batik sutera asal Pekalongan untuk dikenakan setiap acara resmi kenegaraan maupun keluarga.
            Posisi Batik sutera semakin mantap, terlebih Presiden dan para menteri kabinet selalu mengenakan busana batik dalam setiap kegiatan maupun ketika berkunjung ke luar negeri. Salah satu pemasok batik sutera asal Pekalongan di lingkungan istana diantaranya dilakukan oleh H Abdullah Machrus warga Sampangan. Hasil karyanya secara rutin dipesan oleh keluarga Cendana. Era tahun 1980 - 1997 merupakan masa cmasan batik sutera Pekalongan. Hampir semua perajin memproduksinya karena permintaan pasar sangat bersar dan keuntungan yang diperoleh cukup signifikan jika dibandingan dengan pembuatan batik katun. Sementara masyarakat cukup bayak yang mengemarinya, bukan hanya karena bahannya yang ringan jika dipakai, tetapi tampilan aneka corak warnanya sangat indah. Sehingga batik sutera menunjukan kelasnya dan sangat berpengaruh terhadap pemakainya yang merasa nyaman sekaligus dinilai mempunyai gengsi tersendiri karena harga batik itu dikenal cukup mahal jika dibandingkan batik dari bahan mori. Sejalan dengan permintaan pasar yang tinggi harga bahan baku sutera asal Cina terus melambung. Terlebih ketika terjadi krisis ekonomi sekitar tahun 1993 mengakibatkan rupiah merosot, sementara pemakaian bahan baku masih bergantung impor. Harga bahan baku sutera melambung hingga tiga kali lipat, demikian juga harga obat batik. Untuk mengatasinya para perajin batik mencari alternatif memakai sutra tokal dari Ujung Pandang yang mengunakan teknik pemintalan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Pewarnaan menggunakan warna alam (natural dyes) hasilnya sangat menakjubkan, di luar dugaan produk ini sempat melambungkan kembali batik Pekalongan. Pembuatan produksi batik sutera diikuti daerah-daerah lain di Jawa seperti di Tasik Malaya, Garut, Pemalang Kleten hingga Yogya, solo serta daerah lainnya.
           Di era reformasi batik Pekalongan masih tetap bertahan meski tidak terlepas dengan pasang surutnya. Bahkan ketika presiden Abdurrahman Wachid sering mengenakan batik lengan pendek, para perajin Batik Pekalongan ikut ketiban rejeki karena order pembuatan batik Gus Dur membanjir. Bertahannya batik Pekalongan karena piawainya para perajinnya. Batik tidak hanya sekedar sebagai komoditas tetapi lebih dalam batik menjadi warisan budaya yang telah mengakar turun menurun menyatu dengan masyarakat Pekalongan yang multi etnis (Arab, Cina dan pribumi) budaya niaga dan kultur agamis yang dinamis di-ditunjang kreativitas menjadikan batik tidak pernah pernah kering untuk dieksplorasi layaknya air Zam-zam yang tidak kunjung habis. Ini yang menjadikan batik Pekalongan tidak pernah lekang dimakan jaman. Tokoh—tokoh di Pekalongan yang mengeluti batik cukup banyak, Mulai Oei Soe Tjun (Kedungwuni), HM Bachir Ahmad (Pesindon), Fatchiyah A.Kadir (Klego), H. Zaeni (Wonopringgo), Alie Syahbana (Pekajangan), H Bakri (Krapyak), H. Syahur, H. Abdullah Machrus (Sampangan), H Susilo (Wiradesa), H Abas, H. Arifin Utsman (Buaran), Dudung Ali Syahbana (Pekajangan), Romi Oktabirawa (Wiradesa), Afif Syakur, Fredy wijaya, Balqis Diab, H. Faturrohman ( Kauman )serta beberapa tokoh lainnya.