Kamis, 19 Mei 2011

RAGAM BATIK INDONESIA



              Keberaadaan seni batik di Indonesia sejatinya telah tumbuh sudah cukup lama, ini dibuktikan dengan di ketemukannya motif-motif batik pada relief candi — candi yang tersebar di tanah Jawa. Kata Batik sendiri berasal dari kata asli Indonesia. Dalam babad sengkala tahun 1633 serta dalam Pandji Djaja Lengkara tahun 1770 kata-kata batik dan membatik sudah ada. Dari segi bahasa kata batik berasal dari Jawa dari akar kata tik yang berarti kecil. Yang kemudian muncul kata ambatik atau anyerat yang diartikan menulis atau mengambar secara rumit serba kecil (titik-titik) diatas sebuah kain. Untuk melakukannya di gunakan alat canting dan lilin (malam) yang dipanaskan sebagai  perintang warna.
 Seni batik dalam sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit hingga kerajaan Mataram sejalan dengan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Semua batik yang dihasilkan merupakan batik tulis (tradisional) Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram Yogyakarta dan Solo.
Batik adalah sebuah kesenian gambar di atas, kain untuk pakaian untuk piranti busana yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan terbatas didalam lingkungan keraton saja dan hasilnya hanya untuk pakaian raja, kerabat serta para pengikutnya. Banyaknya para pengikut raja yang tinggal diluar lingkungan keraton sehingga kesenian batik ikut terbawa keluar tembok kerajaan dan akhirnya merekapun ikut mengerjakan membuat kain batik di tempat tinggalnya.
Pembuatan batik berkembang ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya sebagai pakaian keluarga dan kerabat kraton, kemudian menyebar keluar menjadi pakaian yang sangat digemari rakyat, baik oleh kaum perempuan maupun para pria.
Bahan batik yang dipergunakan waktu itu sangat sederhana, berupa kain putih hasil tenunan tangan dengan menggunakan alat tenun manual buatan sendiri. Sedangkan bahan pewarna menggunakan warna dari tumbuh-tumbuhan, seperti buah mengkudu, soga, nila. Adapun bahan sodanya dari abu dan sebagai pengikat warna menggunakan garam yang dibuat dari tanah lumpur. Berkembangnya kesenian batik di Jawa ibenjadikan kain batik dikenal secara meluas dan menjadi ikon rakyat nusantara.

Rabu, 11 Mei 2011

BATIK HOKOKAI



                      Memasuki pasca perang dunia pertama membawa imbas pengaruh yang sangat kuat bagi perekonomian dunia, akibat pada tahun 1930 terjadi krisis ekonomi dunia. Dampaknya sangat terasa di mana-mana termasuk sampai pada perusahaan batik di Pekalongan. Tidak sedikit mereka yang gulung tikar. Sebangian banyak mengalihkan usahanya dengan membuat tenun, seperti di wilayah Pekajangan dan sekitarnya. Saat itu juga mengakibatkan putusnya aliran jalur perdagangan mori dan obat batik sebagai penopang utama bahan baku pembuatan batik, jikalaupun ada harganya sangat mahal. Masa pendudukan Jepang Tahun 1942-1945 membuat para perajin batik terhimpit mengalami kesulitan. Hampir semua masyarakat khususnya di Pulau Jawa menderita kesulitan ekonomi, banyak Masyarakat yang kelaparan pada masa penjajahan Dai Nipon Jepang.
Salah seorang tokoh Pekalongan Kromolawi pada masa itu dingkat oleh Jepang sebagai kepala Pelopor. Melalui organisasi Hokokai para pengusaha batik di Pekalongan digerakkan membuat batik gaya Jepang. Diantara pengusaha yang mendapatkan order itu adalah H. Djajuli yang diteruskan kepada pengusaha lainnya. Meski memperoleh pesanan namun kondisi akiibat penjajahan Jepang para perajin cukup banyak Ling mengalami kesulitan. Maka untuk mensiasati Pembuatan batik dengan cara membuat batik yang dikerjakan menggunakan corak lebih rumit, praktis ini memerlukan waktu yang cukup lama. Siasat cara ini dilakukan untuk memperpanjang arus perdagangan yang terputus akibat kelangkaan berbagai bahan baku batik. Sementara corak dimaksimalkan dengan menerapkan motif-motif flora maupun fauna, seperti kupu-kupu dan bunga anggrek. Batik desain ini di kenal dengan isitilah Batik Hokokai (Perhimpunan Rakyat Djawa ) Salah satu ciri batik ini dibuat dengan sistem pagi sore. Langkah ini dilakukan untuk menghemat kain yang saat itu mengalami keterbatasan. Sehingga selembar kain batik bisa digunakan dua kali oleh pemiliknya, karena dua sisinya berbeda warna dan corak. Sehingga bisa dikenakan pemakainya untuk busana pagi dan sore. Adapun proses lamanya waktu penggarapan dimaksudkan agar para pekerja tetap bisa memperoleh jatah makan, mengingat masa pendudukan Jepang cukup banyak masyarakat yang menderita kelaparan. Hubungan Jepang- Indonesa pada masa pendudukan dimanfaatkat oleh para perajin dengan memberikan design batik untuk kimono sebagai pakaian khas Jepang. Batik jenis ini hanya dibuat di Pekalongan. Rentang waktu yang sama keberadaan Batik Hokokai kemudian disusul munculnya Batik Becak. Ciri batik ini hanya mengunakan warna kelengan karena pewarna indigosol sangat langka. Disisi lain kain yang digunakan tidak standar dan kain itu diperoleh dari hasil rampasan milik bala tentara Jepang yang dianggkut menggunakan becak. Meski pendudukan penjajah Jepang telah meninggalkan tanah air, namun batik Hokokai tetap di produksi, namun namanya diganti menjadi Batik Djawa Baroe, Ini sehubungan adanya situasi pemerintahan yang baru pasca pendudukan Jepang.

Pemerintah beserta segenap rakyat yang berhasil melakukan perjuangan merebut kemerdekaan ikut mempengaruhi semangat perkembangan batik di Pekalongan, simpul perdagangan yang semula tersumbat kembali mulai menunjukan kelancaran. Presiden pertama RI Ir Soekarno bahkan menaruh perhatian terhadap batik yang kembali mengalami gairah kebangkitan. Melihat berbagai corak asal batik yang berkembang pasca kemerdekaan, Presiden mempunyai gagasan membuat batik Indonesia sebagai spirit persatuan Bhineka Tunggal Ika dengan cara memadukan motif corak keraton dan pesisir. Ide yang dilontarkan presiden langsung disambut masyarakat Pekalongan sehingga muncul batik-batik campuran kedua ragam corak peisisr dan keraton. Pasang surut politik yang ada di tanah air saat itu sama sekali tidak berpangaruh besar terhadap perkembangan batik Pekalongan. Industri batik terus herkembang sangat pesat hingga dekade tahun 1970. Gubenur DKI Ali Sadikin yang gencar memelopori batik dijadikan sebagai pakain resmi identitas bangsa, membuat gairah baru perajin batik di Pekalongan. Masa itu muncul berbagai jenis batik. Diantaranya Batik Formika, Batik Radioan, jumputan (Bu Harto), Batik abstrak/kontemporer dan Batik Lukis, Batik Usdek.
Produksi batik Pekalongan terus menyebar keberbagai penjuru tanah air mereka yang membuat batik jenis ini diantaranya seperti HM Gasym dan tokoh batik lainnya. Tahun 1980 inovasi batik Pekalongan berkembang, meski sempat terguncang munculnya mesin printing. Namun para perajin tidak terpaku menyerah begitu saja. Mereka tidak menggunakan bahan mori katun, tetapi mulai merambah ke bahan baku sutera asal Cina sepei dirintis oleh H Susilo asal Wiradesa. Sedangkan Jakarta dipelopori serta dikembangkan oleh lwan Tirta sekaligus dijadikan rancangan busana yang memikat Hal ini juga dilakukan perancang Harry Darsono.
Batik sutera tercatat sebagai temuan baru asal Pekalongan, karena belum ada satu daerah saat itu yang bisa menerapkan batik menggunakan malam perintang wama di atas kain sutera. Batik sutera Pekalongan sebagai temuan mempunyai berbagai keunggulan design serta coraknya yang mampu menunjukan gradasi wama indah. Tidak mengherankan jika permintaan pasar akan batik sutera terus meningkat. Bahkan batik sutera asal Pekalongan berhasil menembus kalangan istana Kepresidenan. Presiden Suharto dan keluarganya selalu batik sutera asal Pekalongan untuk dikenakan setiap acara resmi kenegaraan maupun keluarga.
            Posisi Batik sutera semakin mantap, terlebih Presiden dan para menteri kabinet selalu mengenakan busana batik dalam setiap kegiatan maupun ketika berkunjung ke luar negeri. Salah satu pemasok batik sutera asal Pekalongan di lingkungan istana diantaranya dilakukan oleh H Abdullah Machrus warga Sampangan. Hasil karyanya secara rutin dipesan oleh keluarga Cendana. Era tahun 1980 - 1997 merupakan masa cmasan batik sutera Pekalongan. Hampir semua perajin memproduksinya karena permintaan pasar sangat bersar dan keuntungan yang diperoleh cukup signifikan jika dibandingan dengan pembuatan batik katun. Sementara masyarakat cukup bayak yang mengemarinya, bukan hanya karena bahannya yang ringan jika dipakai, tetapi tampilan aneka corak warnanya sangat indah. Sehingga batik sutera menunjukan kelasnya dan sangat berpengaruh terhadap pemakainya yang merasa nyaman sekaligus dinilai mempunyai gengsi tersendiri karena harga batik itu dikenal cukup mahal jika dibandingkan batik dari bahan mori. Sejalan dengan permintaan pasar yang tinggi harga bahan baku sutera asal Cina terus melambung. Terlebih ketika terjadi krisis ekonomi sekitar tahun 1993 mengakibatkan rupiah merosot, sementara pemakaian bahan baku masih bergantung impor. Harga bahan baku sutera melambung hingga tiga kali lipat, demikian juga harga obat batik. Untuk mengatasinya para perajin batik mencari alternatif memakai sutra tokal dari Ujung Pandang yang mengunakan teknik pemintalan dengan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Pewarnaan menggunakan warna alam (natural dyes) hasilnya sangat menakjubkan, di luar dugaan produk ini sempat melambungkan kembali batik Pekalongan. Pembuatan produksi batik sutera diikuti daerah-daerah lain di Jawa seperti di Tasik Malaya, Garut, Pemalang Kleten hingga Yogya, solo serta daerah lainnya.
           Di era reformasi batik Pekalongan masih tetap bertahan meski tidak terlepas dengan pasang surutnya. Bahkan ketika presiden Abdurrahman Wachid sering mengenakan batik lengan pendek, para perajin Batik Pekalongan ikut ketiban rejeki karena order pembuatan batik Gus Dur membanjir. Bertahannya batik Pekalongan karena piawainya para perajinnya. Batik tidak hanya sekedar sebagai komoditas tetapi lebih dalam batik menjadi warisan budaya yang telah mengakar turun menurun menyatu dengan masyarakat Pekalongan yang multi etnis (Arab, Cina dan pribumi) budaya niaga dan kultur agamis yang dinamis di-ditunjang kreativitas menjadikan batik tidak pernah pernah kering untuk dieksplorasi layaknya air Zam-zam yang tidak kunjung habis. Ini yang menjadikan batik Pekalongan tidak pernah lekang dimakan jaman. Tokoh—tokoh di Pekalongan yang mengeluti batik cukup banyak, Mulai Oei Soe Tjun (Kedungwuni), HM Bachir Ahmad (Pesindon), Fatchiyah A.Kadir (Klego), H. Zaeni (Wonopringgo), Alie Syahbana (Pekajangan), H Bakri (Krapyak), H. Syahur, H. Abdullah Machrus (Sampangan), H Susilo (Wiradesa), H Abas, H. Arifin Utsman (Buaran), Dudung Ali Syahbana (Pekajangan), Romi Oktabirawa (Wiradesa), Afif Syakur, Fredy wijaya, Balqis Diab, H. Faturrohman ( Kauman )serta beberapa tokoh lainnya.
 



Senin, 25 April 2011

Batik Pekalongan




              Pekalongan adalah sebuah kota yang terletak di pesisir Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa yang mempunyai rentang kehidupan sebagaimana masyarakat pesisir yang kental dengan kegiatan niaga. Salah satu mata pencaharian masyarakat bukan hanya bertumpu pada sektor perikanan, namun juga kerajinan. Diantarnya pembuatan kain batik. Bahkan batik merupakan sebagai salah satu sumber penghidupan pokok sebagian besar masyarakat Pekalongan yang sudah mengakar turun menurun antar generasi. Batik Pekalongan dikenal sudah cukup lama antara abad XIV-XVI dengan diketemukannya pola gringsing dan banji, selanjutnya sejak Abad XVIII batik diproduksi.
Batik yang dibuat masyarakat Pekalongan dikenal sebagai batik pesisiran. Yaitu batik yang dibuat diluar pakem keraton Solo maupun Yogyakarta, yang dikenal sebagai batik pesisir. Batik pesisir Pekalongan mempunyai ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan batik-batik lainnya. Bukan hanya karena corak ragam yang variatif, namun juga pewarnaan yang lebih berani dengan menghasilkan warna-warna cerah. Ini semua tidak terlepas dari kultur budaya serta tingginya kreatifitas masyarakat pesisir yang dinamis terbuka mudah menerima pengaruh dari luar. Kebaradaan asal-usul batik Pekalongan tidal( bisa terlepas dari sejarah perjalanan Kerajaan Mataram priode abad ke 18 dengan Raja Penembahan Senopati. Sebagaimana dinamika sebuah pemerintahan konflik pemberontakan yang muaranya kekuasaan mengakibatkan peperangan waktu itu terus berkecamuk. Baik peperangan melawan kaum penjajah maupun perpecahan antar keluarga raja. Tidak terelakan konflik perpecahan perang mengakibatkan banyak keluarga raja-raja mulai tersebar keberbagai daerah. Mereka yang tak sepaham mengungsi ke daerah selatan pegunungan maupun daerah pesisir. Di daerah baru inilah mereka tinggal beradaptasi mengembangkan badayanya diantaranya batik. Namun saat itu batik masih dibuat sebatas untuk kebutuhan sendiri. Sehingga pola dan warna tetap mengacu pada pakem keraton Yogyakarta maupun Surakarta di mana mereka berasal. Namun sejak pergolakan perjuangan perang Diponegoro melawan penjajah (Belanda), para pengikut yang tidak mau kompromi dengan pejajah dan tetap setia kepada perjuangan Pangeran Diponegoro memilih mempertahankan prinsip bertahan tinggal bermukim di daerah sebagai tempat perjuangan, seperti halnya di pesisir Pekalongan. Untuk melangsungkan kehidupan mereka tidak sekedar mengandalkan hasil pertanian saja, namun keahlian membuat batik dikembangkan. Batik yang dibuat tidak lagi sekedar untuk kebutuhan pribadi tetapi akhirnya pembuatan batik bergeser digunakan untuk memenuhi kebutuhan guna menopang ekonomi. Pada tahun 1830 batik secara perlahan mulai berubah menjadi lahan baru sebagai mata pencaharian. Dan disini batik mulai berkembang sebagai komoditas. Batik yang semula dibuat masih menggunakan corak mengacu pada batik keraton dengan warna sogan. Dalam perkembangannya corak maupun pewarnaan mulai mengalami perubahan. Batik yang dibuat menggunakan pijakan ciri khas warna 'kelengan' yang dikenal dengan batik bang-biron ( bang-bangan dan Biron) dari kata abang (merah) dan biron (biru) paduan warna ini menjadi ciri khas batik pesisir tradisional.
Pekalongan dengan motif Jlamprang. Sehingga produk jenis batik inilah yang membedakan dengan batik-batik keraton Solo dan Yogyakarta yang didominasi warna sogan. Di sisi lain jika batik kraton sering dikaitan dengan symbol-symbol pemaknaan dan pemakaiannya dijadikan sebagai syarat dalam suatu ritual. Namun batik Pekalongan berfungsi hanya sebagai unsur dekoratif estetik tanpa makna, ini tidak terlepas dari kekentalan nafas agamis sebagai ciri budaya daerah pesisir. Dalam perkembangannya warna batik pesisir Pekalongan ditengarai sebagi teknik pewarnaan batik yang pertama dalam sejarahnya. Karena teknik yang digunakan sebelumnya hanya terbatas dengan menggunakan warna alam dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon jambal (phelthoporum Pterocarpa) untuk warna sogan. Kurun waktu relatif singkat batik Pekalongan mengalami metamorfosa bersamaan dengan datangnya bangsa asing. Corak batikpun dipengaruhi design maupun pola kain asal India, Turki, Persia, China serta Belanda. Corak batik yang dihasilkanpun sangat variatif./ Priode tahun 1850-1860 kegiatan batik Pekalongan sudah ada. Mereka yang melakukannya sebagian besar para istri orang Indo Eropa. Dintaranya Caroline Josephine Van Franquemont salah satu orang Indo Eropa yang membuat batik pertama yang hasil karyanya dikenal sebagai batik Prakemon. Yang kemudian diikuti Lien Metzelaar. Serta kemudian muncul kakak beradik, Eliza (Lies) dan Christina (Tina) dari keluarga Niessen warga Belanda. Eliza Charlota menikah dengan Alphons Van Zuylen dan Christina menikah dengan Jan Van Zuylen yang bekerja sebagai pegawai gubernemen keduanya di tugaskan di tanah Jawa tepatnya di Pekalongan. Dengan menempati Rumah Residen di Jalan Imam Bonjol Kota Pekalongan.
 Di Pekalongan Eliza maupun Tina memanfaatkan kegiatan keseharian dengan membuat kain batik untuk keperluan rumah tangga dengan ukuran yang relatif kecil. Sejalan dengan bergulirnya waktu usaha dari Eliza Charlota ternyata cukup digemari. Batik dianggap oleh masyarakat Belanda dan Indo Eropa cocok dikenakan pada iklim tropis di Indonesia. Usaha batik itupun dengan cepat bekembang. Elizapun saat itu dikenal luas sebagai Ny Van Zuylen sebagai pembuat hatik. Batik hasil karyanya dengan mudah dikenal, karena selalu ada tulisan Van Zuylen sebagai trade mark atau ciri tanda hasil karya produksinya. Motif yang digunakanpun cukup bervariatif, seprti pola Terang bulan, pola Koromandel hingga pola-pola keraton dengan pewarnaan oplosan coklat serta warna merah yang sangat digemari konsumen Cina. Sedangkan design yang paling populer pola buket atau buketan (untaian bunga) sebagai hiasan batik produksinya. Sementara Caroline Yoshepine Van Franquemont sebagai pembatik Indo Eropa corak batik yang dihasilkan menggunakan beragam motif yang mengadopsi cuplikan figur berbagai dongeng Eropa, seperti Peri Laut, Si Tudung Merah dan Srigala mapun penggalan dari kisah Rood Kaapje disamping figur wayang serta cerita dongeng Cina tentang Dewi Hsi Wang Mun dengan gambar burung Hong (Feng huang) yang sedang terbang. Kreativitas pengembangan corak batik saat itu sudah mulai terlihat.
Kain batikpun kian dilirik sehingga meluas dijadikan sebagai usaha yang menarik untuk diandalkan dalam perekonomian. Rentang Priode sepuluh tahun ( 1850-1860) batik-batik itupun terus berkembang di Pekalongan. Melihat perkembangan batik pada waktu itu, membuat orang-orang Cina yang berjiwa wiraswata dengan cepat menangkap peluang melakukan berbagai inovasi cukup banyak mereka yang berkecimpung di Dunia pembatikan. Sehingga memasuki periode pasca tahun 1910 produksi batik yang dihasilkan orang-orang Cina ( Cina peranakan) seperti The Tie Siet, Lim Siok Hien, Oey Soen King, Lim Boe In maupun Lim Boen Au memenuhi pasar. Kecermatan dan kehalusan dalam membuat batik, banyak diakui jauh lebih baik dari batik buatan orang-orang Belanda (Indo Eropa). Sedangkan motif yang digunakan di samping mitos-mitos budaya cina seperti, burung Phonix (Hong), kura-kura, dewa-dewi yang sebagian besar motif itu diambil dari ragam hias yang pada pada ornamen keramik-keramik buatan cina. Motif — motif itupun digabung dengan hiasan buket pola belanda. Tak ayal batik-batik yang hasilkan sepintas tidak ada bedanya dengan batik Indo Eropa, terutama dari segi warna dan teknik. Hanya ada ciri khas yang terletak pada tanda tangan batik. Jika batik Indo Eropa kebanyakan ditandatangani oleh perempuan Sedangkan batik pengusaha Cina tanda tanganya kaum pria. Jikalaupun ada tanda tangan perempuan biasanya di depan namanya ada kata Meurouw atau Nyo.
Poduksi batik yang dihasilkan Cina peranakan itupun cukup dikenal di kalangan luas, bukan hanya didalam negeri tetapi juga menembus pasar luar negeri. Tidak mengherankan jika usaha pembatik sangat produktif. Pesatnya industri batik saat itu membuat para buruh Pabrik Gula seperti di Winopringgo maupun Tirto banyak eksodus keluar pindah pekerjaan menjadi buruh batik. Pilihan itu dilakukan karena pendapatan yang diperoleh di perusahaan batik jauh lebih besar. Dekade Tahun 1920 salah seorang perajin batik Oei Soe Tjun yang tinggal di Kedungwuni Pekalongan menjadi salah satu pelopor pembuatan batik halus dengan cara tradisional yang dikenal dengan Batik Encim. Batik hasil karyanya saat itu cukup kesohor sehingga ia dikenal di seantero pulau Jawa sebagai pengusaha dan perajin batik Pekalongan. Terjunya Oei Soe Tjun tidak terlepas dari keluarga pendahulunya Oei Kiem Boen sebagai pengusaha batik dengan teknik cap di Kedungwuni.
Oei Soe Tjoen sama sekali tidak mengikuti aliran ayahnya yang menggunakan batik dengan teknik cap, melainkan bertumpu memakai cara tradisional, yaitu kaik tulis dengan canting halus. Tak pelak jika hasil karyanya cukup fenomenal. Kali pertama batik yang dibuat kala itu dengan biaya 5 gulden berhasil dijual dengan harga senilai 22 gulden. Tingginya harga jual pasaran tidak terlepas dari mutu yang dihasilkan. Di sini Oei Soe Tjoen menunjukan integritasnya, sehingga order yang diperoleh tidak hanya melayani pesanan dari kalangan keturunan Cina saja, namun telah meluas baik tiari kalangan Indo Eropa, maupun pribumi kelas atas.
Pesatnya permintaan batik yang dihasilkan sebanding lurus dengan para pekerj a yang dimiliki yang saat itu mencapai 150 orang pekerja. Walaupun demikian batik yang dihasilkan hanya sekitar 24 lembar. Kecilnya hasil produksi tidak terlepas karena batik yang dibuat benar-benar dengan cara yang cermat dan rumit. Baik proses membatik maupun pewarnaannya, sehingga produk yang dihasilkan diakui pasar karena sangat bermutu tinggi dan batik itupun menjadi ikon batik halus pesisir Jawa.

Selasa, 19 April 2011

PERAWATAN KAIN ADATI



Kain adati umumnya berbahan dasar organik yang sangat rentan terhadap kerusakan, terutama di Indonesia yang memiliki iklim tropis. Untuk itu diperlukan pengetahuan dasar tentang jenis serat dan pemeliharaannya dalam perawatan kain adati.

Serat berbahan dasar protein lebih resisten terhadap pelapukan dibandingkan dengan serat berbahan dasar selulosa. Serat yang berbahan dasar protein seperti sutera mudah terserang serangga. Serangga ini dapat meletakkan telurnya pada kain, dan setelah dewasa akan memakan serat tersebut. Sutera juga sangat rentan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh cahaya. Sedangkan serat berbahan dasar selulosa seperti katun sangat rentan terhadap mikroorganisme seperti jamur.  Jamur dapat menghasilkan zat asam yang dapat merusak serat, karena serat yang berbahan dasar selulosa sangat rentan terhadap asam. Dalam kondisi tertentu (kelembaban dan suhu tinggi) sutera dapat juga terinfeksi oleh jamur.

Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan pada kain :

1.     Cahaya
Cahaya dan sinar ultra violet dapat membuat warna kain menjadi pudar. Pencahayaan yang terus menerus dapat menyebabkan serat kain menjadi lemah dan gampang robek. Semakin lama terpapar cahaya, kain makin cepat rusak.
Solusi :
Sebaiknya kain disimpan di tempat yang bebas cahaya. Untuk keperluan display, sebaiknya dihindari terlalu dekat dengan sumber cahaya (lampu atau jendela). Jika obyek diframe, sebaiknya gunakan kaca filter ultra violet. Penggantian display secara berkala merupakan cara yang baik untuk menghindari kerusakan karena cahaya di ruang pamer.

2.     Suhu dan Kelembaban
Panas dapat menyebabkan kain menjadi kering, dan serat kain menjadi rapuh. Kombinasi antara panas dan kelembaban yang tinggi serta sirkulasi udara yang buruk menyebabkan kondisi yang ideal untuk berkembangnya jamur. Karena berbahan dasar organik, tekstil tradisi mudah terserang jamur, terutama di daerah tropis yang memiliki kelembahan tinggi.
Kondisi yang ideal untuk kain adalah pada suhu 20 - 24ºC dengan kelembaban          45 – 65 %.
Perubahan kelembaban yang drastis menyebabkan serat kehilangan kekuatan dan elastisitasnya.
Solusi :
Menjaga kelembaban ruangan dan sirkulasi udara. Kelembaban ruangan dapat dimonitor dengan pemasangan dehumidifier. Hindari perubahan suhu dan kelembaban yang ekstrim. Sebisa mungkin ruangan pamer koleksi memiliki sirkulasi udara yang baik.

3.     Asam dan Alkali
Asam dan alkali dapat merusak kain. Asam biasanya berasal dari kertas dan produk kayu. Sedangkan alkali berasal dari deterjen dan pemutih (bleaching).


Solusi :
Gunakan kertas bebas asam (acid free) untuk penyimpanan, dan hindari penggunaan deterjen dan pemutih pada pencucian kain.

4.     Debu dan Kotoran (polusi)
Debu dan kotoran bersifat abrasif, memiliki efek seperti mata pisau yang menyayat serat kain. 
Solusi :
Lakukan pembersihan debu dengan vacuum untuk membersihkan kain.

5.     Jamur dan Serangga
Jamur dapat merusak kain karena menghasilkan zat asam. Sedangkan serangga merusak kain karena memakan serat kain.
Solusi :
Lakukan fumigasi dan freezing untuk mencegah berkembangnya jamur dan serangga pada kain.

6.     Faktor internal dari kain itu sendiri pada proses pembuatan dan pewarnaan dapat juga menjadi penyebab kerusakan (adanya unsur logam pada saat mordant dan fiksasi, adanya unsur asam pada saat fiksasi dengan HCl).