Rabu, 16 Maret 2011

RAGAM HIAS BATIK KUNO




Secara umum, perkembangan ragam hias batik kuno pertama kali diilhami dari bentuk ragam hias pahatan tiga dimensi yang terdapat pada relief – relief candi maupun hiasan arca. Kedua adalah bentuk tumbuh-tumbuhan ( flora ) dan bianatang ( fauna ) seperti sulur –sulur, daun, bunga, ikan, burung, dan singa. Adapun yang ketiga adalah bentuk garis atau bidang berbentuk geometris yang mengandung lambang tanda perhitungan hari dan bulan serta bangun tertutup berupa garis-garis segitiga, setengah bulatan, bulat-bulatan, atau bentuk lambang yang lainnya. Bentuk segitiga atau bulatan, bentuk ikal, dan garis gelombang dikenal sebagai ragam hias pilin, meander dan swastika. Ragam hias seperti itu sebenarnya sudah hadir dan merupakan ragam hias yang sudah umum pada masa pra sejarah, khususnya pada jaman perunggu. Peninggalan nenek moyang berupa batu kubur dipulau Sumba menggunakan ragam hias semacam itu.
Ragam hias segitiga adalah ragam hias yang dalam istilah jawa disebut “ tumpal “  dan makna dari bentuk itu adalah lambang kekuasaan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ragam hias segitiga tersebut berasal dari India dan merupakan stirilisasi dari gigi buaya sebagai lambang penolak bala. Ragam hias segitiga pada batik terdapat pada sarung, kain kepala ( pada ujung kanan dan kiri kain ) serta kain setengah kepala ( satu ujung saja yang mempunyai ragam hias segitiga ). Ragam hias “ tumpal ”  banyak dipakai untuk hiasan bagian kepala ( jakatamakuto ) arca. Pohon hayat yang disebut Kalpataru membentuk sulur daun yang dijaga oleh naga juga dibingkai oleh ragam hias “ tumpal “.
Ada beberapa pola batik pada masa Hindu Kuno di Jawa, antara lain pola kawung, ceplokan, padmasabnha, dan sebagainya. Semuanya itu menjadi dasar bentuk pola – pola ragam hias batik. pola semacam itu bersumber dari lingkaran candi sedangkan untuk pola kawung, tumpal, ceplokan dipengaruhi oleh bentuk ragam hias yang terdapat pada giasan kubur batu pada masa pra sejarah. Masing-masing ragam hias memiliki keindahan seni dan makna perlambangan yang secara bersinambungan dapat menyatu menjadi sebuah hiasan kuno. Pada masa lampau, kerajaan yang pada waktu itu berada di bawah pemerintahan Mataram Kuno. Penggunaan dan pembuatan batik terus berlangsung hingga abad ke XII Masehi, setelah kekuasaan Mataram Hindu pindah ke Jawa Timur dan menjelang keruntuhannya pada abad XVI Masehi.
Ragam hias menjadi dasar batik terus dikembangkan oleh keluarga didalam keraton sampai dengan periode Mataram Baru pada abad XVI Masehi dan kesakralannya dijadikan sebagai symbol status suatu Jabata. Batik Pekalongan kuno telah terhambat oleh keadaan masyarakat yang makin surut dan jauh dari wilayah pusat-pusat kekuasaan. Meskipun masyarakat saat itu membuat batik, baik untuk pelengkap sarana upacara maupun dipakai sebagai busana dalam pengembangannya masih ketinggalan apabila dibandingkan dengan batik-batik yang dibuat didaerah pedalaman dan pusat kerajaan.
             

Sabtu, 12 Maret 2011

BATIK JELAMPRANG




                            Batik jelamprang dan mitos Den Ayu Lanjar masing – masing memiliki kisah mistis bagi masyarakat daerah pesisir utara Jawa, khususnya Kota Pekalongan. Batik Jelamprang merupakan Batik asli yang dimiliki masyarakat Pekalongan sebagai pewaris budaya kosmologis dengan mengetengahkan ragam hias ceplokan dalam bentuk lunglungan dan bunga padma dan ditengahnya disilang dengan gambar peran dunia kosmis yang hadir sejak Agama Hidhu dan Budha berkembang di Jawa. Pola ceplokan distirilisasi dalam bentuk dekoratif menunjukan corak peninggalan masa prasejarah yang kemudian menjadi waris agama Hindhu dan Budha.
Dalam aliran Hindu Tantrayana Syaiwapaksa yang lambangnya adalah cakra berupa gambar panah yang merupakan lambang meditasi dari Dewa Syiwa. Syaiwapaksa berarti senjata panah Dewa Syiwa, sedangkan bunga padma dalam kepercayaan Hindu-Budha adalah lambang kehidupan. Kita tidak dapat mengetahui sejak kapan tepatnya batik jlamprang mulai berkembang di wilayah Pekalongan. Namun demikian , pola ceplokan , anak panah, dan lung padmasana biasanya merupakan lambang-lambang dari konsep mandala Agama Hindu-Syiwa yang beraliran Tantra.
Pada abad XVII pada pedagang dari India yang datang ke kota-kota pantai utara Jawa seperti Pekalongan tidak hanya membawa barang dagangan tetapi juga membawa ajaran Agama Hindu ke Jawa. Para pedagang dari India tersebut membawa berbagai macam barang dagangan dan dalah satunya adalah kain. Ada beberapa macam kain yang mereka bawa antara lain kain patola, sembagi, dan polikat.
Kain tenun ganda yang disebut patola dibawa oleh pedagang dari daerah pantai Gujarat di India. Kain tersebut merupakan mata dagangan yang sangat disukai golongan masyarakat menengah keatas antara lain kaum bangsawan. Kain tersebut memiliki ragam hias yang diberi makna oleh masyarakat setempat sesuai dengan ajaran agama yang berkembang saat itu yaitu agama Hindu Animisme yang dianut oleh masyarakat Pekalongan kuno. Pada saat kain patola mulai langka dipasaran, para pengusaha Cina dan Arab di pekalonganmembuat kain beragam hias patola dengan proses batik dan disebut batik jlamprang. Oleh karena itu batik tersebut merupakan batik asli Pekalongan dengan makna lambang-lambang Hindu-Syiwa yang beraliran Tantra.  
Batik jlamprang yang mempunyai warna warni yang cerah itu berkembang sampai ke daerah pedalaman, bahkan mampu “menembus” tembok keraton Yogyakarta. Ragam hias batik jlamprang yang berkembang didaerah pedalaman ditampilkan sesuai dengan warna batik keraton yaitu biru tua, coklat soga dan putih. Pola batik tersebut diberi nama nitik saat ini telah tercipta kurang lebih 86 pola nitik sebagai hasil pengembangan pola jlamprang di Yogyakarta. Beberapa dari pola nitik itu mengandung makna filosofi guna keperluan upacara-upcara adat Jawa, antara lain nitik cakar dan simbar lintang.
Dalam kaitannya dengan penggunaan batik jlamprang sebagai medium ( benda upacara ), secara kosmologis merupakan jalan menuju dunia atas ( dunia para Dewa ). Aliran Tantra adalah salah satu aliran pemujaan terhadap Dewa Syiwa dan masyarakat Pekalongan kuno menggunakan batik jlamprang sebagai benda upacara pada saat kepercayaan itu berkembangsetelah Pekalongan ditinggalkan Wangsa Sanjaya ke Jawa Timur pada abad X Masehi.
Batik jlamprang adalah waris dari budaya kosmologis yang diapakai sebagai medium ekspresi untuk menghubungkan dunia bawah ( dunia manusia ) dengan dunia atas ( dunia dewa-desa atau dunia Prayangan ). Batik jlamprang sebagai medium kosmis yang memiliki symbol mistis tentunya menjadi alat yang tepat dan diterima oleh dunia atas ( dunia Hyang ) dan disini kita sebut sebagai dunianya Den Ayu Lanjar . dalam kaitannya dengan batik jelamprang sebagai medium ekspresi, batik tersebut dahulu telah dijadikan benda sacral  ( batik sacral ) seperti juga raja-raja Mataram mensakralkan batik parang rusak dan batik sido mukti.
Pada masa lalu , batik jlamprang sudah menjadi batik profane ( umum ) dan tidak disakralkan lagi. Namun demikian, sebagaian masyarakat Pekalongan masih menyertakan batik jlamprang sebagai batik bagian dari benda – benda upacara Nyadran yaitu upacara korban di laut untuk menyatakan syukur kepada penguasa alam ( Tuhan ). Menurut masyarakat Pekalongan, alat-alat upacara tersebut ( termasuk batik jlamprang ) dimaksudkan sebagai persembahan kepada Ratu Laut Den Ayu Lanjar.