Batik Pekalongan
Pekalongan adalah sebuah kota yang terletak di pesisir Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa yang mempunyai rentang kehidupan sebagaimana masyarakat pesisir yang kental dengan kegiatan niaga. Salah satu mata pencaharian masyarakat bukan hanya bertumpu pada sektor perikanan, namun juga kerajinan. Diantarnya pembuatan kain batik. Bahkan batik merupakan sebagai salah satu sumber penghidupan pokok sebagian besar masyarakat Pekalongan yang sudah mengakar turun menurun antar generasi. Batik Pekalongan dikenal sudah cukup lama antara abad XIV-XVI dengan diketemukannya pola gringsing dan banji, selanjutnya sejak Abad XVIII batik diproduksi.
Batik yang dibuat masyarakat Pekalongan dikenal sebagai batik pesisiran. Yaitu batik yang dibuat diluar pakem keraton Solo maupun Yogyakarta, yang dikenal sebagai batik pesisir. Batik pesisir Pekalongan mempunyai ciri khas tersendiri jika dibandingkan dengan batik-batik lainnya. Bukan hanya karena corak ragam yang variatif, namun juga pewarnaan yang lebih berani dengan menghasilkan warna-warna cerah. Ini semua tidak terlepas dari kultur budaya serta tingginya kreatifitas masyarakat pesisir yang dinamis terbuka mudah menerima pengaruh dari luar. Kebaradaan asal-usul batik Pekalongan tidal( bisa terlepas dari sejarah perjalanan Kerajaan Mataram priode abad ke 18 dengan Raja Penembahan Senopati. Sebagaimana dinamika sebuah pemerintahan konflik pemberontakan yang muaranya kekuasaan mengakibatkan peperangan waktu itu terus berkecamuk. Baik peperangan melawan kaum penjajah maupun perpecahan antar keluarga raja. Tidak terelakan konflik perpecahan perang mengakibatkan banyak keluarga raja-raja mulai tersebar keberbagai daerah. Mereka yang tak sepaham mengungsi ke daerah selatan pegunungan maupun daerah pesisir. Di daerah baru inilah mereka tinggal beradaptasi mengembangkan badayanya diantaranya batik. Namun saat itu batik masih dibuat sebatas untuk kebutuhan sendiri. Sehingga pola dan warna tetap mengacu pada pakem keraton Yogyakarta maupun Surakarta di mana mereka berasal. Namun sejak pergolakan perjuangan perang Diponegoro melawan penjajah (Belanda), para pengikut yang tidak mau kompromi dengan pejajah dan tetap setia kepada perjuangan Pangeran Diponegoro memilih mempertahankan prinsip bertahan tinggal bermukim di daerah sebagai tempat perjuangan, seperti halnya di pesisir Pekalongan. Untuk melangsungkan kehidupan mereka tidak sekedar mengandalkan hasil pertanian saja, namun keahlian membuat batik dikembangkan. Batik yang dibuat tidak lagi sekedar untuk kebutuhan pribadi tetapi akhirnya pembuatan batik bergeser digunakan untuk memenuhi kebutuhan guna menopang ekonomi. Pada tahun 1830 batik secara perlahan mulai berubah menjadi lahan baru sebagai mata pencaharian. Dan disini batik mulai berkembang sebagai komoditas. Batik yang semula dibuat masih menggunakan corak mengacu pada batik keraton dengan warna sogan. Dalam perkembangannya corak maupun pewarnaan mulai mengalami perubahan. Batik yang dibuat menggunakan pijakan ciri khas warna 'kelengan' yang dikenal dengan batik bang-biron ( bang-bangan dan Biron) dari kata abang (merah) dan biron (biru) paduan warna ini menjadi ciri khas batik pesisir tradisional.
Pekalongan dengan motif Jlamprang. Sehingga produk jenis batik inilah yang membedakan dengan batik-batik keraton Solo dan Yogyakarta yang didominasi warna sogan. Di sisi lain jika batik kraton sering dikaitan dengan symbol-symbol pemaknaan dan pemakaiannya dijadikan sebagai syarat dalam suatu ritual. Namun batik Pekalongan berfungsi hanya sebagai unsur dekoratif estetik tanpa makna, ini tidak terlepas dari kekentalan nafas agamis sebagai ciri budaya daerah pesisir. Dalam perkembangannya warna batik pesisir Pekalongan ditengarai sebagi teknik pewarnaan batik yang pertama dalam sejarahnya. Karena teknik yang digunakan sebelumnya hanya terbatas dengan menggunakan warna alam dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon jambal (phelthoporum Pterocarpa) untuk warna sogan. Kurun waktu relatif singkat batik Pekalongan mengalami metamorfosa bersamaan dengan datangnya bangsa asing. Corak batikpun dipengaruhi design maupun pola kain asal India, Turki, Persia, China serta Belanda. Corak batik yang dihasilkanpun sangat variatif./ Priode tahun 1850-1860 kegiatan batik Pekalongan sudah ada. Mereka yang melakukannya sebagian besar para istri orang Indo Eropa. Dintaranya Caroline Josephine Van Franquemont salah satu orang Indo Eropa yang membuat batik pertama yang hasil karyanya dikenal sebagai batik Prakemon. Yang kemudian diikuti Lien Metzelaar. Serta kemudian muncul kakak beradik, Eliza (Lies) dan Christina (Tina) dari keluarga Niessen warga Belanda. Eliza Charlota menikah dengan Alphons Van Zuylen dan Christina menikah dengan Jan Van Zuylen yang bekerja sebagai pegawai gubernemen keduanya di tugaskan di tanah Jawa tepatnya di Pekalongan. Dengan menempati Rumah Residen di Jalan Imam Bonjol Kota Pekalongan.
Di Pekalongan Eliza maupun Tina memanfaatkan kegiatan keseharian dengan membuat kain batik untuk keperluan rumah tangga dengan ukuran yang relatif kecil. Sejalan dengan bergulirnya waktu usaha dari Eliza Charlota ternyata cukup digemari. Batik dianggap oleh masyarakat Belanda dan Indo Eropa cocok dikenakan pada iklim tropis di Indonesia. Usaha batik itupun dengan cepat bekembang. Elizapun saat itu dikenal luas sebagai Ny Van Zuylen sebagai pembuat hatik. Batik hasil karyanya dengan mudah dikenal, karena selalu ada tulisan Van Zuylen sebagai trade mark atau ciri tanda hasil karya produksinya. Motif yang digunakanpun cukup bervariatif, seprti pola Terang bulan, pola Koromandel hingga pola-pola keraton dengan pewarnaan oplosan coklat serta warna merah yang sangat digemari konsumen Cina. Sedangkan design yang paling populer pola buket atau buketan (untaian bunga) sebagai hiasan batik produksinya. Sementara Caroline Yoshepine Van Franquemont sebagai pembatik Indo Eropa corak batik yang dihasilkan menggunakan beragam motif yang mengadopsi cuplikan figur berbagai dongeng Eropa, seperti Peri Laut, Si Tudung Merah dan Srigala mapun penggalan dari kisah Rood Kaapje disamping figur wayang serta cerita dongeng Cina tentang Dewi Hsi Wang Mun dengan gambar burung Hong (Feng huang) yang sedang terbang. Kreativitas pengembangan corak batik saat itu sudah mulai terlihat.
Kain batikpun kian dilirik sehingga meluas dijadikan sebagai usaha yang menarik untuk diandalkan dalam perekonomian. Rentang Priode sepuluh tahun ( 1850-1860) batik-batik itupun terus berkembang di Pekalongan. Melihat perkembangan batik pada waktu itu, membuat orang-orang Cina yang berjiwa wiraswata dengan cepat menangkap peluang melakukan berbagai inovasi cukup banyak mereka yang berkecimpung di Dunia pembatikan. Sehingga memasuki periode pasca tahun 1910 produksi batik yang dihasilkan orang-orang Cina ( Cina peranakan) seperti The Tie Siet, Lim Siok Hien, Oey Soen King, Lim Boe In maupun Lim Boen Au memenuhi pasar. Kecermatan dan kehalusan dalam membuat batik, banyak diakui jauh lebih baik dari batik buatan orang-orang Belanda (Indo Eropa). Sedangkan motif yang digunakan di samping mitos-mitos budaya cina seperti, burung Phonix (Hong), kura-kura, dewa-dewi yang sebagian besar motif itu diambil dari ragam hias yang pada pada ornamen keramik-keramik buatan cina. Motif — motif itupun digabung dengan hiasan buket pola belanda. Tak ayal batik-batik yang hasilkan sepintas tidak ada bedanya dengan batik Indo Eropa, terutama dari segi warna dan teknik. Hanya ada ciri khas yang terletak pada tanda tangan batik. Jika batik Indo Eropa kebanyakan ditandatangani oleh perempuan Sedangkan batik pengusaha Cina tanda tanganya kaum pria. Jikalaupun ada tanda tangan perempuan biasanya di depan namanya ada kata Meurouw atau Nyo.
Poduksi batik yang dihasilkan Cina peranakan itupun cukup dikenal di kalangan luas, bukan hanya didalam negeri tetapi juga menembus pasar luar negeri. Tidak mengherankan jika usaha pembatik sangat produktif. Pesatnya industri batik saat itu membuat para buruh Pabrik Gula seperti di Winopringgo maupun Tirto banyak eksodus keluar pindah pekerjaan menjadi buruh batik. Pilihan itu dilakukan karena pendapatan yang diperoleh di perusahaan batik jauh lebih besar. Dekade Tahun 1920 salah seorang perajin batik Oei Soe Tjun yang tinggal di Kedungwuni Pekalongan menjadi salah satu pelopor pembuatan batik halus dengan cara tradisional yang dikenal dengan Batik Encim. Batik hasil karyanya saat itu cukup kesohor sehingga ia dikenal di seantero pulau Jawa sebagai pengusaha dan perajin batik Pekalongan. Terjunya Oei Soe Tjun tidak terlepas dari keluarga pendahulunya Oei Kiem Boen sebagai pengusaha batik dengan teknik cap di Kedungwuni.
Oei Soe Tjoen sama sekali tidak mengikuti aliran ayahnya yang menggunakan batik dengan teknik cap, melainkan bertumpu memakai cara tradisional, yaitu kaik tulis dengan canting halus. Tak pelak jika hasil karyanya cukup fenomenal. Kali pertama batik yang dibuat kala itu dengan biaya 5 gulden berhasil dijual dengan harga senilai 22 gulden. Tingginya harga jual pasaran tidak terlepas dari mutu yang dihasilkan. Di sini Oei Soe Tjoen menunjukan integritasnya, sehingga order yang diperoleh tidak hanya melayani pesanan dari kalangan keturunan Cina saja, namun telah meluas baik tiari kalangan Indo Eropa, maupun pribumi kelas atas.
Pesatnya permintaan batik yang dihasilkan sebanding lurus dengan para pekerj a yang dimiliki yang saat itu mencapai 150 orang pekerja. Walaupun demikian batik yang dihasilkan hanya sekitar 24 lembar. Kecilnya hasil produksi tidak terlepas karena batik yang dibuat benar-benar dengan cara yang cermat dan rumit. Baik proses membatik maupun pewarnaannya, sehingga produk yang dihasilkan diakui pasar karena sangat bermutu tinggi dan batik itupun menjadi ikon batik halus pesisir Jawa.