RAGAM HIAS BATIK KUNO
Secara umum, perkembangan ragam hias batik kuno pertama kali diilhami dari bentuk ragam hias pahatan tiga dimensi yang terdapat pada relief – relief candi maupun hiasan arca. Kedua adalah bentuk tumbuh-tumbuhan ( flora ) dan bianatang ( fauna ) seperti sulur –sulur, daun, bunga, ikan, burung, dan singa. Adapun yang ketiga adalah bentuk garis atau bidang berbentuk geometris yang mengandung lambang tanda perhitungan hari dan bulan serta bangun tertutup berupa garis-garis segitiga, setengah bulatan, bulat-bulatan, atau bentuk lambang yang lainnya. Bentuk segitiga atau bulatan, bentuk ikal, dan garis gelombang dikenal sebagai ragam hias pilin, meander dan swastika. Ragam hias seperti itu sebenarnya sudah hadir dan merupakan ragam hias yang sudah umum pada masa pra sejarah, khususnya pada jaman perunggu. Peninggalan nenek moyang berupa batu kubur dipulau Sumba menggunakan ragam hias semacam itu.
Ragam hias segitiga adalah ragam hias yang dalam istilah jawa disebut “ tumpal “ dan makna dari bentuk itu adalah lambang kekuasaan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa ragam hias segitiga tersebut berasal dari India dan merupakan stirilisasi dari gigi buaya sebagai lambang penolak bala. Ragam hias segitiga pada batik terdapat pada sarung, kain kepala ( pada ujung kanan dan kiri kain ) serta kain setengah kepala ( satu ujung saja yang mempunyai ragam hias segitiga ). Ragam hias “ tumpal ” banyak dipakai untuk hiasan bagian kepala ( jakatamakuto ) arca. Pohon hayat yang disebut Kalpataru membentuk sulur daun yang dijaga oleh naga juga dibingkai oleh ragam hias “ tumpal “.
Ada beberapa pola batik pada masa Hindu Kuno di Jawa, antara lain pola kawung, ceplokan, padmasabnha, dan sebagainya. Semuanya itu menjadi dasar bentuk pola – pola ragam hias batik. pola semacam itu bersumber dari lingkaran candi sedangkan untuk pola kawung, tumpal, ceplokan dipengaruhi oleh bentuk ragam hias yang terdapat pada giasan kubur batu pada masa pra sejarah. Masing-masing ragam hias memiliki keindahan seni dan makna perlambangan yang secara bersinambungan dapat menyatu menjadi sebuah hiasan kuno. Pada masa lampau, kerajaan yang pada waktu itu berada di bawah pemerintahan Mataram Kuno. Penggunaan dan pembuatan batik terus berlangsung hingga abad ke XII Masehi, setelah kekuasaan Mataram Hindu pindah ke Jawa Timur dan menjelang keruntuhannya pada abad XVI Masehi.
Ragam hias menjadi dasar batik terus dikembangkan oleh keluarga didalam keraton sampai dengan periode Mataram Baru pada abad XVI Masehi dan kesakralannya dijadikan sebagai symbol status suatu Jabata. Batik Pekalongan kuno telah terhambat oleh keadaan masyarakat yang makin surut dan jauh dari wilayah pusat-pusat kekuasaan. Meskipun masyarakat saat itu membuat batik, baik untuk pelengkap sarana upacara maupun dipakai sebagai busana dalam pengembangannya masih ketinggalan apabila dibandingkan dengan batik-batik yang dibuat didaerah pedalaman dan pusat kerajaan.